Hukum Merokok dan Profesi Terkait Lainnya
dakwatuna.com – Mungkin banyak orang sudah tahu kalau rokok berbahaya untuk kesehatan. Tetapi nyatanya setiap tahun jumlah pecandu rokok di Indonesia terus bertambah. Data terbaru menyebutkan bahwa 31,4 persen penduduk Indonesia merokok, dan 4,83 persen di antaranya wanita (sumber: http://www.kompas.co.id/wanita/news/0605/30/164017.htm.)
Prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun mencapai 26,8 persen dari total populasi penduduk Indonesia, 234 juta jiwa. Pada peringatan Hari Anti Rokok se Dunia yang jatuh pada 31 Mei, berbagai kampanye dilakukan untuk mengimbau anti rokok khususnya bagi anak-anak. Benda kecil berbahan utama tembakau ini memang menimbulkan efek adiktif (ketagihan) bagi tubuh karena mengandung zat nikotin. Walau adiktif yang dikandung rokok tidak seberat adiktif pada narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba), zat adiktif rokok sangat sulit dilepaskan. Menurut dr Tjandra Yoga Aditama, dokter spesialis paru yang juga Ketua III Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), gejala-gejala yang dirasakan oleh para perokok tersebut disebut dengan withdrawal symptom yang muncul pada saat orang berhenti merokok. Obat untuk mengurangi withdrawal symptom ini menurutnya adalah nikotin juga, karena penyebabnya memang nikotin.
Di luar negeri ada beberapa teknik pengobatan yang digunakan untuk mengobati efek kecanduan pada rokok, yaitu melalui Nicotine Replacement Therapy (NRT). Caranya adalah dengan mengurangi kadar nikotin secara perlahan-lahan. Selama dua minggu, pasien akan diberikan nikotin berbentuk plester, permen karet, roll on, inhalasi dan suntikan, yang dosisnya terus dikurangi. Sayangnya, NRT ini belum ada di Indonesia. Tjandra mengakui tidak mudah menghentikan kebiasaan merokok. Namun, kebiasaan itu bisa diubah jika pertama-tama perokok memiliki motivasi. Seorang perokok yang menjalankan ibadah puasa bisa berhenti merokok itu karena dia memiliki motivasi, sayangnya motivasi ini sering tidak diteruskan.
Menyongsong hari Anti Tembakau Sedunia yang jatuh tanggal 31 Mei sebelum membahas hukum fiqih rokok dan profesi penunjang lainnya, ada baiknya kita mengenali kembali apa saja bahaya yang terkandung dalam sebatang rokok. Antara lain kanker paru, jantung, infertilitas, gangguan reproduksi (nyeri haid, menopause lebih awal), kulit keriput, kanker leher rahim dan pada ibu yang merokok bisa menyebabkan abortus dan kematian janin. Ada beberapa penyakit yang bisa timbul karena sekadar menjadi perokok pasif. Misalnya infeksi paru dan telinga, gangguan pertumbuhan paru, atau bahkan dapat menyebabkan kanker paru.
Selain penyakit di atas, ada pula beberapa efek rokok terhadap tubuh yang jarang dipublikasikan, seperti menurunkan sistem kekebalan tubuh hingga mengakibatkan kerontokan rambut, gangguan katarak pada mata, kulit cepat keriput, kehilangan pendengaran dini, menimbulkan kerusakan gigi, lebih mudah terkena osteoporosis, mengurangi jumlah dan kelainan bentuk sperma, serta lebih berkemungkinan terkena kanker. Seorang pecandu yang berhenti merokok dua hari berturut-turut, kemampuan untuk mengecap dan menghirup akan membaik. Kalau berhenti merokok dua sampai 12 minggu, sirkulasi darahnya membaik. Orang yang terus berhenti merokok tiga sampai sembilan bulan, batuk dan gangguan pernapasannya akan menghilang.
Perokok yang sudah lima tahun berhenti merokok, maka risiko terkena penyakit jantung koroner akan turun 50 persen, dan 10 tahun tidak merokok kemungkinan itu menjadi sama dengan orang yang tidak merokok. Jadi, sesungguhnya tidak ada kata terlambat untuk mulai hidup sehat dan berhenti merokok segera mungkin. Tumbuhan yang dikenal dengan nama tembakau atau sigaret (ad dukhan atau asy-syijar) baru dikenal pada akhir abad kesepuluh Hijriyah. Dan semenjak masyarakat mengkonsumsinya sebagai bahan isapan mendorong para ulama pada jaman itu untuk mengangkatnya sebagai bahan kajian fiqih agar terjadi kejelasan hukum halal dan haramnya.
Topik ini relatif menjadi wacana yang baru sehingga belum ada ketetapan hukum syariah dari para fuqaha klasik dalam berbagai mazhab di samping belum sempurnanya gambaran tentang substansi masalah dan dampak rokok berdasarkan riset kesehatan yang akurat. Maka wajar setelah itu terjadilah perbedaan pendapat dari berbagai mazhab fiqih tentang masalah ini, sebagian berpendapat haram, sebagian berpendapat makruh, sebagian lagi mengatakan boleh (mubah) dan terutama para ulama yang terlanjur mengkonsumsinya, dan sebagian lagi tidak memberi hukum secara mutlak, tetapi menetapkan hukumnya secara rinci. Bahkan sebagian lagi dari mereka berdiam diri, tidak mau membicarakannya. Sebagian besar ulama mengharamkan ataupun memakruhkan (sebaiknya ditinggalkan) rokok berdasarkan beberapa alasan di antaranya:
- Menimbulkan kecanduan yang merusak akal sebagaimana barang yang memabukkan padahal setiap yang berpotensi memabukkan (muskir) itu hukumnya haram. Memabukkan di sini maksudnya segala sesuatu yang dapat menutup dan meracuni akal, meskipun hanya sebatas tidak ingat terutama bagi pemula.
- Melemahkan daya tahan tubuh. Kalaupun merokok itu tidak sampai memabukkan, minimal rokok dapat menurunkan daya tahan dan kekebalan tubuh. Dari Ummu Salamah r.a: “Bahwa Rasulullah saw. melarang segala sesuatu yang memabukkan dan melemahkan.”
- Menimbulkan mudharat yang mencakup
- mudharat jasmani dimana rokok menjadikan badan lemah, wajah pucat, terserang batuk, merusak kesehatan mulut dan gigi, bahkan dapat menimbulkan penyakit saluran pernafasan dan paru-paru. Dalam konteks ini tepat sekali perkataan sebagian ulama bahwa tidak ada perbedaan tentang haramnya sesuatu yang membahayakan, baik bahaya itu datang seketika maupun bertahap. Bahkan yang bertahap inilah yang lebih sering terjadi;
- mudharat finansial yaitu membakar uang secara sia-sia yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tabdzir (menyia-nyiakan harta) yang dibenci Allah, dengan membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaat bagi badan dan ruh, tidak bermanfaat di dunia dan akhirat bahkan justru membahayakan. Sedangkan Nabi saw telah melarang membuang-buang harta, Allah berfirman: “….dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros (mubadzirin) itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. al-Isro’:26-27)
Di antara ulama yang secara tegas mengharamkan dan melarang merokok ialah Syekhul Islam Ahmad As-Sanhuri Al-Bahuti al Hambali, dan dari kalangan mazhab Maliki ialah Ibrahim Al-Laqqani (keduanya dari Mesir); Abdul Ghats Al Qasysy Al Maliki (dari Maroko); Najmuddin bin Badruddin bin Mufassiril Qur’an; dan Al Arabi Al Ghazzi Al’Amiri As Syafii (dari Damaskus); Ibrahim bin Jam’an dan muridnya Abu Bakar bin Al Adhal (dari Yaman); Abdul Malik Al-Ishami dan muridnya Muhammad bin ‘Allamah, serta Sayyid Umar Khawajah, Isa Asy Syahwai Al Hanafi, Makki bin Faruh Al Makki, dan Sayid Sa’ad Al Balkhi Al Madani (dari Turki).
Di samping itu efek negatif rokok lainnya sangat banyak dan tidak dapat dipungkiri lagi karena merupakan pengalaman empiris keseharian yaitu: meskipun tidak sampai pada tingkat tabdzir dan isrof (berlebihan) merokok dapat mengurangi harta yang semestinya dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi diri dan lingkungannya (prinsip hifdzul maal); bau dan asapnya mengganggu serta menyakiti orang lain yang tidak merokok; dapat melalaikan ibadah serta mengurangi kekhusyu’an dan kesucian shalat karena baunya; membikin kecanduan sehingga pikiran perokok akan kacau jika ia tidak mendapat rokok; mengganggu dan membahayakan orang lain serta lingkungannya, padahal Nabi pernah bersabda: “Tidak boleh ada bahaya dan sikap saling membahayakan pihak lain” (HR. Ahmad, Malik, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Addar Quthni, Ibnu Majah)
Masalah rokok sudah lama menjadi kajian fiqih kontemporer yang dibahas oleh para ulama kontemporer seperti Syekh Hasanain Makhluf, mufti Mesir berpendapat bahwa hukum asal rokok adalah mubah tetapi keharaman dan kemakruhannya timbul akibat faktor-faktor lain, seperti jika menimbulkan mudharat (banyak ataupun sedikit) terhadap jiwa maupun harta ataupun pada kedua-duanya. Atau karena mendatangkan mudharat dan mengabaikan hak orang lain. Apabila terdapat unsur-unsur seperti ini maka hukumnya menjadi makruh atau haram, sesuai dengan dampak yang ditimbulkannya dan bila sebaliknya jika tidak terdapat dampak negatif seperti itu maka hukumnya halal.
Namun sebagian besar ulama dunia menetapkan keharamannya melalui berbagai risalah dan buku yang ditulis mengenai hukum rokok di antaranya; Syeikh Abdul Qadir Ahmad ‘Atha dalam bukunya “Hadza Halal wa Hadza Haram” atau Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam berbagai tulisannya seperti di “al-Halal wal Haram fil Islam”. Para ulama Timur Tengah khususnya Najed pada umumnya mengharamkan rokok, lebih-lebih bila yang melakukannya adalah ulama dan tokoh Islam (lihat berbagai risalah yang diterbitkan Darul Ifta’ Saudi Arabia dari berbagai ulama). Syekh Muhammad Ibnu Mani’, pemuka ulama Qatar berkata di dalam catatan pinggirnya untuk kitab Ghayatul Muntaha, (II/332), sebagai berikut: “Pendapat yang membolehkan rokok adalah pendapat orang yang ngawur sehingga tidak perlu dihiraukan. Sebab, di antara mudharat yang ditimbulkannya secara jelas ialah merusak badan, menimbulkan bau yang kurang sedap dan mengganggu orang lain, serta dapat menghambur-hamburkan harta tanpa ada gunanya. Maka janganlah Anda terpedaya oleh omongan orang-orang yang menganggapnya halal. Sebab, siapapun boleh diambil atau ditolak perkataannya”.
Barangkali fatwa yang paling objektif, jujur, adil dan paling tepat alasannya dalam masalah ini, adalah yang dikemukakan oleh Syekhul Mahmud Syaltout, Guru Besar dan Mufti Al Azhar yaitu bahwa kalaupun rokok tidak menjadikan mabuk dan tidak merusak akal tetapi masih menimbulkan mudharat yang dapat dirasakan pengaruhnya pada kesehatan orang yang merokok dan yang tidak merokok. Padahal dokter telah menjelaskan bahwa unsur-unsur yang ada di dalamnya diketahui mengandung racun meskipun berproses lambat yang akan dapat merampas kebahagiaan dan ketenteraman hidup manusia. Karena itu tidak diragukan lagi bahwa rokok dapat menimbulkan gangguan dan mudharat, sedangkan hal ini merupakan sesuatu yang buruk dan terlarang menurut pandangan Islam. Di sisi lain pengeluaran belanja untuk rokok sebenarnya dapat digunakan untuk sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat. Maka dari sudut pandang ini merokok jelas-jelas dilarang dan tidak dibolehkan syariah.
Dalam menetapkan haram atau makruhnya suatu perkara, hukum Islam tidak hanya berdasar pada nash (teks dalil) yang khusus menjelaskan suatu masalah. Berbagai konsideran hukum dan kaidah-kaidah umum syariah menjadi indikator penting dalam menetapkan hukum dengan menimbang mudharat dan manfaatnya. Sebenarnya kegamangan sementara kalangan untuk mengharamkan rokok karena melihat bahwa manfaat rokok sangat banyak dan hanya sedikit menimbulkan mudharat. Padahal penetapan adanya bahaya (mudharat) rokok dari aspek kesehatan diri dan lingkungan serta kadarnya bukan merupakan otoritas dan tugas ulama fiqih melainkan merupakan otoritas (kewenangan) para ahli medis dan ahli kimia karena merekalah yang paling ahli dan mengetahuinya (QS. Al-Furqon:59 dan Fathir:14).
Para ahli medis telah menyatakan bahaya rokok terhadap tubuh secara umum, juga bahaya terhadap paru-paru dan saluran pernafasan secara khusus. Bahkan dapat pula menimbulkan kanker atau radang paru-paru sehingga yang semakin menyadarkan dunia untuk kampanye anti merokok bahkan Amerika dipelopori oleh mantan presidennya, Bill Clinton secara terang-terangan memerangi rokok. Peringatan bahaya rokok sebenarnya sudah lama di dengungkan oleh banyak pihak yang berkompeten seperti Fakultas Kedokteran Britania membuat pernyataan yang berbunyi: “berhentilah dari merokok, kalau tidak maka kematian Anda semakin cepat”. Di antara bahaya merokok yang diumumkan Fakultas Kedokteran Britania ialah bahwa setiap tahun 27.500 orang Britania meninggal karena merokok, dan usia mereka berkisar antara 34-65 tahun; setiap tahun 155.000 orang Britania akan mati karena 80% di antaranya disebabkan serangan penyakit paru-paru; sembilan puluh persen kematian karena serangan penyakit paru-paru itu disebabkan oleh perokok; sebab-sebab pokok terjadinya kematian pada perokok di antaranya mereka terserang bermacam-macam penyakit seperti paru-paru, saluran pernafasan, jantung, penyakit urat nadi, penyakit tenggorokan, kanker payudara, kanker mulut, serta kanker tenggorokan dan kerongkongan. Anak-anak yang dilahirkan oleh wanita perokok itu lebih banyak mengalami keguguran.
Menurut majalah kedokteran yang terbit di Britania, menyatakan bahwa merokok itu sebenarnya penyakit, bukan kebiasaan. Perilaku ini merupakan bencana yang dialami oleh kebanyakan anggota keluarga, juga sebagai kebiasaan yang dapat menurunkan kehormatan seseorang. Jumlah orang yang mati disebabkan merokok itu berlipat ganda. Mereka menyimpulkan bahwa asap rokok lebih berbahaya daripada asap mobil. Dan para dokter memberi nasihat bahwa orang yang merokok itu tidak aman dalam perjalanan tugasnya. Banyak dokter yang menjelaskan dan menulis tentang bahaya merokok terhadap kaum wanita, misalnya dapat merusak kecantikan, mengubah warna kulit, dan menjadikan bau mulutnya tidak sedap. Padahal keindahan, kecantikan dan aroma merupakan sesuatu yang wajib dijaga oleh kaum wanita. Meskipun demikian, sebenarnya untuk membuktikan bahaya rokok ini, tidak harus dilakukan oleh seorang dokter atau ahli medis yang memahami kimia, karena hal ini sudah diketahui dan dirasakan oleh masyarakat umum. Mudharat (bahaya) yang datang secara bertahap atau perlahan sama hukumnya dengan yang seketika, keduanya haram. Karena itu, pengaruh racun rokok (nikotin) terhadap jantung dan paru-paru, cepat atau lambat terhukum haram, serta tidak diragukan lagi.
Imam Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (VII/503) menetapkan haramnya memakan sesuatu yang menimbulkan mudharat berdasarkan nash umum. Beliau mengatakan bahwa segala sesuatu yang membahayakan adalah haram berdasarkan sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala sesuatu”. Maka menurutnya, barangsiapa yang menimbulkan mudharat pada dirinya sendiri dan pada orang lain berarti ia tidak berbuat baik; dan barangsiapa yang tidak berbuat baik berarti menentang perintah Allah untuk berbuat baik kepada segala sesuatu itu.”
Merokok sebenarnya dapat dikategorikan perbuatan isrof yang diharamkan Islam, sebab menurut Imam Ibnu Hazm yang dimaksud isrof itu adalah dapat berupa: menafkahkan harta untuk sesuatu yang diharamkan Allah swt sedikit maupun banyak; berbuat boros pada sesuatu yang tidak diperlukan, yang menghabiskan kekayaannya; menghambur-hamburkan harta secara sia-sia, meskipun dalam jumlah kecil. Allah berfirman:“…dan janganlah kamu berlebih-lebihan (israf). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al An’am:141)
Penetapan hukum haramnya rokok ini karena membahayakan berdasarkan firman Allah Swt.:“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An-Nisa:29) Imam Nawawi mengenai hal ini secara tegas dalam kitab Raudhah-nya mengatakan bahwa segala sesuatu yang bila dimakan membahayakan seperti kaca, batu, dan racun maka memakannya haram. Bahaya lain yang dapat timbul dari kebiasaan merokok ialah jika rokok atau bahan pembuatannya itu diimpor dari negara-negara eksportir yang menyudutkan maupun memerangi Islam, maka pembelian rokok itu justru akan memperkuat posisi musuh dalam menghadapi umat Islam. Termasuk yang membahayakan ialah bila yang merokok itu elit atau patron, pesohor dan panutan masyarakat seperti ulama, kyai, ustadz, pejabat atau para dokter.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah rokok ini memang khilafiyah (masih diperselisihkan) dan sesuatu yang keharamannya masih diperselisihkan perlakuan hukum dan kategori syariah terhadap perokok tidaklah sampai pada tingkat sebagaimana keharamannya yang telah disepakati secara ijma’ (konsensus ulama). Karena itulah sulit rasanya untuk menggolongkan dan memberi predikat pelakunya sebagai orang yang fasik dan dianggap gugur kesaksiannya, apalagi jika fenomena rokok ini sudah demikian merata atau mayoritas penduduk bumi.
Adapun fenomena banyaknya ulama yang merokok, justru hal itu menunjukkan bahwa mereka itu tidaklah ma’shum (terpelihara dari kesalahan dosa). Sebagian besar di antara mereka telah tergoda dan kecanduan rokok sejak usia muda, sehingga motivasinya tidak berdaya membebaskannya dari belenggu ketergantungan pada rokok. Namun demikian di antara mereka ada yang memfatwakan keharamannya meskipun dia sendiri sulit melepaskan ketergantungan pada rokok, seperti Syeikh Mahmud Syaltout dari ulama Al-Azhar Mesir. Bila hal ini kita sepakati dan yakini sebagai suatu dosa meskipun membawa manfaat, tetapi sebenarnya dosa dan mudharatnya lebih besar dari manfaatnya, sebagaimana halnya khamar (minuman keras) sehingga tetap diharamkan Allah (QS.Al-Baqarah:219), maka segala profesi dan aktivitas yang terkait dengannya ikut menanggung dosa termasuk pihak produsen (pemilik maupun pekerja produksi), distributor (penjual), maupun pemasok bahan produksi. Bukankah Nabi telah melaknat khamar juga semua pihak yang terlibat dengannya secara keseluruhan. Hal itu karena jika Allah mengharamkan sesuatu maka Dia mengharamkan segala bentuk keterlibatan yang mendukungnya (QS.Al-Maidah:2). Meskipun demikian, dalam batas tertentu karena kondisi kebutuhan yang mendesak yang dapat dikategorikan kondisi darurat, selama belum ada alternatif lain setelah melalui berbagai usaha maksimal, maka profesi saudari tergolong pada rukhsah (dispensasi atau keringanan hukum syariah) terlebih jika keluarga Saudari membutuhkan penghasilan dari profesi pekerja pabrik rokok. Di samping itu, saudari harus banyak berusaha dan berdoa semoga segera mendapatkan pencaharian yang lebih halal dan baik sebab Allah adalah sumber segalanya dan tempat bergantung.
Mengenai kekhawatiran sementara pihak terhadap dampak sosial ekonomi pasca fatwa haram rokok dengan beberapa perincian oleh Majelis Ulama Indonesia yang dihasilkan oleh Ijtima Ulama Komisi fatwa dan Unsur Ormas Islam Seluruh Indonesia serta menghadirkan nara sumber ahli kesehatan, yaitu kekhawatiran akan timbulnya pengangguran dan matinya lapangan pekerjaan secara dramatis dan drastis karena ditutupnya pabrik rokok, maka kekhawatiran itu berlebihan, terlalu apriori, pragmatis, pesimistis, skeptis, fatalis, dan tidak berdasarkan data empiris ilmiah. Semua komponen umat ini seharusnya bertekad memikirkan dan mengusahakan alternatif pengganti yang lebih baik dan halal (halalan thayyiban) dari industri rokok dengan alih fungsi dan kemanfaatan tembakau misalnya, bukankah Nabi saw. menjanjikan bagi siapa yang meninggalkan sesuatu karena takwa kepada Allah maka Ia akan menggantinya dengan yang lebih baik untuknya.
Profesi terkait dengan rokok yang lainnya seperti para pedagang pengecer maupun pengasong yang tidak hanya menjual rokok demikian pula para pemasok dan petani tembakau, teknisi, entertainer, pengusaha reklame dan advertising, ataupun pihak terkait lainnya, maka akan lebih selamat dan berhati-hati (ihthiyatan) bila menghindari komoditi dan objek usaha yang haram ataupun minimal syubhat (meragukan kehalalannya) seperti rokok. Sebab, Allah tidak akan memberkati seseorang karena usahanya yang haram atau bercampur haram. Dan harus diingat bahwa setiap kesulitan di jalan Allah akan ada kemudahan dan jalan keluar yang lebih baik. (QS.At-Thalaq:2-5, Al-Insyirah:4-5) Sikap demikian itu hikmahnya adalah demi menyelamatkan generasi muda dan segenap bangsa dari kecanduan rokok, dan kerusakan kesehatan diri dan lingkungan. Namun dalam masa transisi setelah kesadaran hukum dan aspek kesehatan terkait rokok ini, semua pihak terkait seharusnya mulai memancangkan niat dan tekad kuat untuk mencari alternative yang lebih baik untuk kemaslahatan luas dan halal. Dalam hal ini pemerintah dan semua pihak terkait melalui berbagai media dan sarana harus berusaha keras memerangi penyakit ini dan kampanye anti rokok di samping menciptakan alternatif lapangan kerja dan usaha lainnya yang lebih baik, meskipun untuk ini harus mengeluarkan biaya yang sangat banyak dan melumpuhkan industri rokok dan biaya sosial yang sangat tinggi, sebab dampak negatif yang ditimbulkannya bagi kesehatan keluarga dan bangsa jauh lebih mahal dan berharga dari pada nilai devisa ataupun nilai material apapun. Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq wal Hidayah. []
Hukum Merokok dan Profesi Terkait Lainnya
dakwatuna.com – Mungkin banyak orang sudah tahu kalau rokok berbahaya untuk kesehatan. Tetapi nyatanya setiap tahun jumlah pecandu rokok di Indonesia terus bertambah. Data terbaru menyebutkan bahwa 31,4 persen penduduk Indonesia merokok, dan 4,83 persen di antaranya wanita (sumber: http://www.kompas.co.id/wanita/news/0605/30/164017.htm.)
Prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun mencapai 26,8 persen dari total populasi penduduk Indonesia, 234 juta jiwa. Pada peringatan Hari Anti Rokok se Dunia yang jatuh pada 31 Mei, berbagai kampanye dilakukan untuk mengimbau anti rokok khususnya bagi anak-anak. Benda kecil berbahan utama tembakau ini memang menimbulkan efek adiktif (ketagihan) bagi tubuh karena mengandung zat nikotin. Walau adiktif yang dikandung rokok tidak seberat adiktif pada narkotika dan obat-obat berbahaya (narkoba), zat adiktif rokok sangat sulit dilepaskan. Menurut dr Tjandra Yoga Aditama, dokter spesialis paru yang juga Ketua III Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3), gejala-gejala yang dirasakan oleh para perokok tersebut disebut dengan withdrawal symptom yang muncul pada saat orang berhenti merokok. Obat untuk mengurangi withdrawal symptom ini menurutnya adalah nikotin juga, karena penyebabnya memang nikotin.
Di luar negeri ada beberapa teknik pengobatan yang digunakan untuk mengobati efek kecanduan pada rokok, yaitu melalui Nicotine Replacement Therapy (NRT). Caranya adalah dengan mengurangi kadar nikotin secara perlahan-lahan. Selama dua minggu, pasien akan diberikan nikotin berbentuk plester, permen karet, roll on, inhalasi dan suntikan, yang dosisnya terus dikurangi. Sayangnya, NRT ini belum ada di Indonesia. Tjandra mengakui tidak mudah menghentikan kebiasaan merokok. Namun, kebiasaan itu bisa diubah jika pertama-tama perokok memiliki motivasi. Seorang perokok yang menjalankan ibadah puasa bisa berhenti merokok itu karena dia memiliki motivasi, sayangnya motivasi ini sering tidak diteruskan.
Menyongsong hari Anti Tembakau Sedunia yang jatuh tanggal 31 Mei sebelum membahas hukum fiqih rokok dan profesi penunjang lainnya, ada baiknya kita mengenali kembali apa saja bahaya yang terkandung dalam sebatang rokok. Antara lain kanker paru, jantung, infertilitas, gangguan reproduksi (nyeri haid, menopause lebih awal), kulit keriput, kanker leher rahim dan pada ibu yang merokok bisa menyebabkan abortus dan kematian janin. Ada beberapa penyakit yang bisa timbul karena sekadar menjadi perokok pasif. Misalnya infeksi paru dan telinga, gangguan pertumbuhan paru, atau bahkan dapat menyebabkan kanker paru.
Selain penyakit di atas, ada pula beberapa efek rokok terhadap tubuh yang jarang dipublikasikan, seperti menurunkan sistem kekebalan tubuh hingga mengakibatkan kerontokan rambut, gangguan katarak pada mata, kulit cepat keriput, kehilangan pendengaran dini, menimbulkan kerusakan gigi, lebih mudah terkena osteoporosis, mengurangi jumlah dan kelainan bentuk sperma, serta lebih berkemungkinan terkena kanker. Seorang pecandu yang berhenti merokok dua hari berturut-turut, kemampuan untuk mengecap dan menghirup akan membaik. Kalau berhenti merokok dua sampai 12 minggu, sirkulasi darahnya membaik. Orang yang terus berhenti merokok tiga sampai sembilan bulan, batuk dan gangguan pernapasannya akan menghilang.
Perokok yang sudah lima tahun berhenti merokok, maka risiko terkena penyakit jantung koroner akan turun 50 persen, dan 10 tahun tidak merokok kemungkinan itu menjadi sama dengan orang yang tidak merokok. Jadi, sesungguhnya tidak ada kata terlambat untuk mulai hidup sehat dan berhenti merokok segera mungkin. Tumbuhan yang dikenal dengan nama tembakau atau sigaret (ad dukhan atau asy-syijar) baru dikenal pada akhir abad kesepuluh Hijriyah. Dan semenjak masyarakat mengkonsumsinya sebagai bahan isapan mendorong para ulama pada jaman itu untuk mengangkatnya sebagai bahan kajian fiqih agar terjadi kejelasan hukum halal dan haramnya.
Topik ini relatif menjadi wacana yang baru sehingga belum ada ketetapan hukum syariah dari para fuqaha klasik dalam berbagai mazhab di samping belum sempurnanya gambaran tentang substansi masalah dan dampak rokok berdasarkan riset kesehatan yang akurat. Maka wajar setelah itu terjadilah perbedaan pendapat dari berbagai mazhab fiqih tentang masalah ini, sebagian berpendapat haram, sebagian berpendapat makruh, sebagian lagi mengatakan boleh (mubah) dan terutama para ulama yang terlanjur mengkonsumsinya, dan sebagian lagi tidak memberi hukum secara mutlak, tetapi menetapkan hukumnya secara rinci. Bahkan sebagian lagi dari mereka berdiam diri, tidak mau membicarakannya. Sebagian besar ulama mengharamkan ataupun memakruhkan (sebaiknya ditinggalkan) rokok berdasarkan beberapa alasan di antaranya:
- Menimbulkan kecanduan yang merusak akal sebagaimana barang yang memabukkan padahal setiap yang berpotensi memabukkan (muskir) itu hukumnya haram. Memabukkan di sini maksudnya segala sesuatu yang dapat menutup dan meracuni akal, meskipun hanya sebatas tidak ingat terutama bagi pemula.
- Melemahkan daya tahan tubuh. Kalaupun merokok itu tidak sampai memabukkan, minimal rokok dapat menurunkan daya tahan dan kekebalan tubuh. Dari Ummu Salamah r.a: “Bahwa Rasulullah saw. melarang segala sesuatu yang memabukkan dan melemahkan.”
- Menimbulkan mudharat yang mencakup
- mudharat jasmani dimana rokok menjadikan badan lemah, wajah pucat, terserang batuk, merusak kesehatan mulut dan gigi, bahkan dapat menimbulkan penyakit saluran pernafasan dan paru-paru. Dalam konteks ini tepat sekali perkataan sebagian ulama bahwa tidak ada perbedaan tentang haramnya sesuatu yang membahayakan, baik bahaya itu datang seketika maupun bertahap. Bahkan yang bertahap inilah yang lebih sering terjadi;
- mudharat finansial yaitu membakar uang secara sia-sia yang dapat dikategorikan sebagai perbuatan tabdzir (menyia-nyiakan harta) yang dibenci Allah, dengan membelanjakan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaat bagi badan dan ruh, tidak bermanfaat di dunia dan akhirat bahkan justru membahayakan. Sedangkan Nabi saw telah melarang membuang-buang harta, Allah berfirman: “….dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya para pemboros (mubadzirin) itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.” (QS. al-Isro’:26-27)
Di antara ulama yang secara tegas mengharamkan dan melarang merokok ialah Syekhul Islam Ahmad As-Sanhuri Al-Bahuti al Hambali, dan dari kalangan mazhab Maliki ialah Ibrahim Al-Laqqani (keduanya dari Mesir); Abdul Ghats Al Qasysy Al Maliki (dari Maroko); Najmuddin bin Badruddin bin Mufassiril Qur’an; dan Al Arabi Al Ghazzi Al’Amiri As Syafii (dari Damaskus); Ibrahim bin Jam’an dan muridnya Abu Bakar bin Al Adhal (dari Yaman); Abdul Malik Al-Ishami dan muridnya Muhammad bin ‘Allamah, serta Sayyid Umar Khawajah, Isa Asy Syahwai Al Hanafi, Makki bin Faruh Al Makki, dan Sayid Sa’ad Al Balkhi Al Madani (dari Turki).
Di samping itu efek negatif rokok lainnya sangat banyak dan tidak dapat dipungkiri lagi karena merupakan pengalaman empiris keseharian yaitu: meskipun tidak sampai pada tingkat tabdzir dan isrof (berlebihan) merokok dapat mengurangi harta yang semestinya dapat digunakan untuk hal-hal yang lebih baik dan lebih bermanfaat bagi diri dan lingkungannya (prinsip hifdzul maal); bau dan asapnya mengganggu serta menyakiti orang lain yang tidak merokok; dapat melalaikan ibadah serta mengurangi kekhusyu’an dan kesucian shalat karena baunya; membikin kecanduan sehingga pikiran perokok akan kacau jika ia tidak mendapat rokok; mengganggu dan membahayakan orang lain serta lingkungannya, padahal Nabi pernah bersabda: “Tidak boleh ada bahaya dan sikap saling membahayakan pihak lain” (HR. Ahmad, Malik, Al-Hakim, Al-Baihaqi, Addar Quthni, Ibnu Majah)
Masalah rokok sudah lama menjadi kajian fiqih kontemporer yang dibahas oleh para ulama kontemporer seperti Syekh Hasanain Makhluf, mufti Mesir berpendapat bahwa hukum asal rokok adalah mubah tetapi keharaman dan kemakruhannya timbul akibat faktor-faktor lain, seperti jika menimbulkan mudharat (banyak ataupun sedikit) terhadap jiwa maupun harta ataupun pada kedua-duanya. Atau karena mendatangkan mudharat dan mengabaikan hak orang lain. Apabila terdapat unsur-unsur seperti ini maka hukumnya menjadi makruh atau haram, sesuai dengan dampak yang ditimbulkannya dan bila sebaliknya jika tidak terdapat dampak negatif seperti itu maka hukumnya halal.
Namun sebagian besar ulama dunia menetapkan keharamannya melalui berbagai risalah dan buku yang ditulis mengenai hukum rokok di antaranya; Syeikh Abdul Qadir Ahmad ‘Atha dalam bukunya “Hadza Halal wa Hadza Haram” atau Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam berbagai tulisannya seperti di “al-Halal wal Haram fil Islam”. Para ulama Timur Tengah khususnya Najed pada umumnya mengharamkan rokok, lebih-lebih bila yang melakukannya adalah ulama dan tokoh Islam (lihat berbagai risalah yang diterbitkan Darul Ifta’ Saudi Arabia dari berbagai ulama). Syekh Muhammad Ibnu Mani’, pemuka ulama Qatar berkata di dalam catatan pinggirnya untuk kitab Ghayatul Muntaha, (II/332), sebagai berikut: “Pendapat yang membolehkan rokok adalah pendapat orang yang ngawur sehingga tidak perlu dihiraukan. Sebab, di antara mudharat yang ditimbulkannya secara jelas ialah merusak badan, menimbulkan bau yang kurang sedap dan mengganggu orang lain, serta dapat menghambur-hamburkan harta tanpa ada gunanya. Maka janganlah Anda terpedaya oleh omongan orang-orang yang menganggapnya halal. Sebab, siapapun boleh diambil atau ditolak perkataannya”.
Barangkali fatwa yang paling objektif, jujur, adil dan paling tepat alasannya dalam masalah ini, adalah yang dikemukakan oleh Syekhul Mahmud Syaltout, Guru Besar dan Mufti Al Azhar yaitu bahwa kalaupun rokok tidak menjadikan mabuk dan tidak merusak akal tetapi masih menimbulkan mudharat yang dapat dirasakan pengaruhnya pada kesehatan orang yang merokok dan yang tidak merokok. Padahal dokter telah menjelaskan bahwa unsur-unsur yang ada di dalamnya diketahui mengandung racun meskipun berproses lambat yang akan dapat merampas kebahagiaan dan ketenteraman hidup manusia. Karena itu tidak diragukan lagi bahwa rokok dapat menimbulkan gangguan dan mudharat, sedangkan hal ini merupakan sesuatu yang buruk dan terlarang menurut pandangan Islam. Di sisi lain pengeluaran belanja untuk rokok sebenarnya dapat digunakan untuk sesuatu yang lebih baik dan bermanfaat. Maka dari sudut pandang ini merokok jelas-jelas dilarang dan tidak dibolehkan syariah.
Dalam menetapkan haram atau makruhnya suatu perkara, hukum Islam tidak hanya berdasar pada nash (teks dalil) yang khusus menjelaskan suatu masalah. Berbagai konsideran hukum dan kaidah-kaidah umum syariah menjadi indikator penting dalam menetapkan hukum dengan menimbang mudharat dan manfaatnya. Sebenarnya kegamangan sementara kalangan untuk mengharamkan rokok karena melihat bahwa manfaat rokok sangat banyak dan hanya sedikit menimbulkan mudharat. Padahal penetapan adanya bahaya (mudharat) rokok dari aspek kesehatan diri dan lingkungan serta kadarnya bukan merupakan otoritas dan tugas ulama fiqih melainkan merupakan otoritas (kewenangan) para ahli medis dan ahli kimia karena merekalah yang paling ahli dan mengetahuinya (QS. Al-Furqon:59 dan Fathir:14).
Para ahli medis telah menyatakan bahaya rokok terhadap tubuh secara umum, juga bahaya terhadap paru-paru dan saluran pernafasan secara khusus. Bahkan dapat pula menimbulkan kanker atau radang paru-paru sehingga yang semakin menyadarkan dunia untuk kampanye anti merokok bahkan Amerika dipelopori oleh mantan presidennya, Bill Clinton secara terang-terangan memerangi rokok. Peringatan bahaya rokok sebenarnya sudah lama di dengungkan oleh banyak pihak yang berkompeten seperti Fakultas Kedokteran Britania membuat pernyataan yang berbunyi: “berhentilah dari merokok, kalau tidak maka kematian Anda semakin cepat”. Di antara bahaya merokok yang diumumkan Fakultas Kedokteran Britania ialah bahwa setiap tahun 27.500 orang Britania meninggal karena merokok, dan usia mereka berkisar antara 34-65 tahun; setiap tahun 155.000 orang Britania akan mati karena 80% di antaranya disebabkan serangan penyakit paru-paru; sembilan puluh persen kematian karena serangan penyakit paru-paru itu disebabkan oleh perokok; sebab-sebab pokok terjadinya kematian pada perokok di antaranya mereka terserang bermacam-macam penyakit seperti paru-paru, saluran pernafasan, jantung, penyakit urat nadi, penyakit tenggorokan, kanker payudara, kanker mulut, serta kanker tenggorokan dan kerongkongan. Anak-anak yang dilahirkan oleh wanita perokok itu lebih banyak mengalami keguguran.
Menurut majalah kedokteran yang terbit di Britania, menyatakan bahwa merokok itu sebenarnya penyakit, bukan kebiasaan. Perilaku ini merupakan bencana yang dialami oleh kebanyakan anggota keluarga, juga sebagai kebiasaan yang dapat menurunkan kehormatan seseorang. Jumlah orang yang mati disebabkan merokok itu berlipat ganda. Mereka menyimpulkan bahwa asap rokok lebih berbahaya daripada asap mobil. Dan para dokter memberi nasihat bahwa orang yang merokok itu tidak aman dalam perjalanan tugasnya. Banyak dokter yang menjelaskan dan menulis tentang bahaya merokok terhadap kaum wanita, misalnya dapat merusak kecantikan, mengubah warna kulit, dan menjadikan bau mulutnya tidak sedap. Padahal keindahan, kecantikan dan aroma merupakan sesuatu yang wajib dijaga oleh kaum wanita. Meskipun demikian, sebenarnya untuk membuktikan bahaya rokok ini, tidak harus dilakukan oleh seorang dokter atau ahli medis yang memahami kimia, karena hal ini sudah diketahui dan dirasakan oleh masyarakat umum. Mudharat (bahaya) yang datang secara bertahap atau perlahan sama hukumnya dengan yang seketika, keduanya haram. Karena itu, pengaruh racun rokok (nikotin) terhadap jantung dan paru-paru, cepat atau lambat terhukum haram, serta tidak diragukan lagi.
Imam Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla (VII/503) menetapkan haramnya memakan sesuatu yang menimbulkan mudharat berdasarkan nash umum. Beliau mengatakan bahwa segala sesuatu yang membahayakan adalah haram berdasarkan sabda Nabi saw: “Sesungguhnya Allah mewajibkan berbuat baik kepada segala sesuatu”. Maka menurutnya, barangsiapa yang menimbulkan mudharat pada dirinya sendiri dan pada orang lain berarti ia tidak berbuat baik; dan barangsiapa yang tidak berbuat baik berarti menentang perintah Allah untuk berbuat baik kepada segala sesuatu itu.”
Merokok sebenarnya dapat dikategorikan perbuatan isrof yang diharamkan Islam, sebab menurut Imam Ibnu Hazm yang dimaksud isrof itu adalah dapat berupa: menafkahkan harta untuk sesuatu yang diharamkan Allah swt sedikit maupun banyak; berbuat boros pada sesuatu yang tidak diperlukan, yang menghabiskan kekayaannya; menghambur-hamburkan harta secara sia-sia, meskipun dalam jumlah kecil. Allah berfirman:“…dan janganlah kamu berlebih-lebihan (israf). Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al An’am:141)
Penetapan hukum haramnya rokok ini karena membahayakan berdasarkan firman Allah Swt.:“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”(QS. An-Nisa:29) Imam Nawawi mengenai hal ini secara tegas dalam kitab Raudhah-nya mengatakan bahwa segala sesuatu yang bila dimakan membahayakan seperti kaca, batu, dan racun maka memakannya haram. Bahaya lain yang dapat timbul dari kebiasaan merokok ialah jika rokok atau bahan pembuatannya itu diimpor dari negara-negara eksportir yang menyudutkan maupun memerangi Islam, maka pembelian rokok itu justru akan memperkuat posisi musuh dalam menghadapi umat Islam. Termasuk yang membahayakan ialah bila yang merokok itu elit atau patron, pesohor dan panutan masyarakat seperti ulama, kyai, ustadz, pejabat atau para dokter.
Meskipun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masalah rokok ini memang khilafiyah (masih diperselisihkan) dan sesuatu yang keharamannya masih diperselisihkan perlakuan hukum dan kategori syariah terhadap perokok tidaklah sampai pada tingkat sebagaimana keharamannya yang telah disepakati secara ijma’ (konsensus ulama). Karena itulah sulit rasanya untuk menggolongkan dan memberi predikat pelakunya sebagai orang yang fasik dan dianggap gugur kesaksiannya, apalagi jika fenomena rokok ini sudah demikian merata atau mayoritas penduduk bumi.
Adapun fenomena banyaknya ulama yang merokok, justru hal itu menunjukkan bahwa mereka itu tidaklah ma’shum (terpelihara dari kesalahan dosa). Sebagian besar di antara mereka telah tergoda dan kecanduan rokok sejak usia muda, sehingga motivasinya tidak berdaya membebaskannya dari belenggu ketergantungan pada rokok. Namun demikian di antara mereka ada yang memfatwakan keharamannya meskipun dia sendiri sulit melepaskan ketergantungan pada rokok, seperti Syeikh Mahmud Syaltout dari ulama Al-Azhar Mesir. Bila hal ini kita sepakati dan yakini sebagai suatu dosa meskipun membawa manfaat, tetapi sebenarnya dosa dan mudharatnya lebih besar dari manfaatnya, sebagaimana halnya khamar (minuman keras) sehingga tetap diharamkan Allah (QS.Al-Baqarah:219), maka segala profesi dan aktivitas yang terkait dengannya ikut menanggung dosa termasuk pihak produsen (pemilik maupun pekerja produksi), distributor (penjual), maupun pemasok bahan produksi. Bukankah Nabi telah melaknat khamar juga semua pihak yang terlibat dengannya secara keseluruhan. Hal itu karena jika Allah mengharamkan sesuatu maka Dia mengharamkan segala bentuk keterlibatan yang mendukungnya (QS.Al-Maidah:2). Meskipun demikian, dalam batas tertentu karena kondisi kebutuhan yang mendesak yang dapat dikategorikan kondisi darurat, selama belum ada alternatif lain setelah melalui berbagai usaha maksimal, maka profesi saudari tergolong pada rukhsah (dispensasi atau keringanan hukum syariah) terlebih jika keluarga Saudari membutuhkan penghasilan dari profesi pekerja pabrik rokok. Di samping itu, saudari harus banyak berusaha dan berdoa semoga segera mendapatkan pencaharian yang lebih halal dan baik sebab Allah adalah sumber segalanya dan tempat bergantung.
Mengenai kekhawatiran sementara pihak terhadap dampak sosial ekonomi pasca fatwa haram rokok dengan beberapa perincian oleh Majelis Ulama Indonesia yang dihasilkan oleh Ijtima Ulama Komisi fatwa dan Unsur Ormas Islam Seluruh Indonesia serta menghadirkan nara sumber ahli kesehatan, yaitu kekhawatiran akan timbulnya pengangguran dan matinya lapangan pekerjaan secara dramatis dan drastis karena ditutupnya pabrik rokok, maka kekhawatiran itu berlebihan, terlalu apriori, pragmatis, pesimistis, skeptis, fatalis, dan tidak berdasarkan data empiris ilmiah. Semua komponen umat ini seharusnya bertekad memikirkan dan mengusahakan alternatif pengganti yang lebih baik dan halal (halalan thayyiban) dari industri rokok dengan alih fungsi dan kemanfaatan tembakau misalnya, bukankah Nabi saw. menjanjikan bagi siapa yang meninggalkan sesuatu karena takwa kepada Allah maka Ia akan menggantinya dengan yang lebih baik untuknya.
Profesi terkait dengan rokok yang lainnya seperti para pedagang pengecer maupun pengasong yang tidak hanya menjual rokok demikian pula para pemasok dan petani tembakau, teknisi, entertainer, pengusaha reklame dan advertising, ataupun pihak terkait lainnya, maka akan lebih selamat dan berhati-hati (ihthiyatan) bila menghindari komoditi dan objek usaha yang haram ataupun minimal syubhat (meragukan kehalalannya) seperti rokok. Sebab, Allah tidak akan memberkati seseorang karena usahanya yang haram atau bercampur haram. Dan harus diingat bahwa setiap kesulitan di jalan Allah akan ada kemudahan dan jalan keluar yang lebih baik. (QS.At-Thalaq:2-5, Al-Insyirah:4-5) Sikap demikian itu hikmahnya adalah demi menyelamatkan generasi muda dan segenap bangsa dari kecanduan rokok, dan kerusakan kesehatan diri dan lingkungan. Namun dalam masa transisi setelah kesadaran hukum dan aspek kesehatan terkait rokok ini, semua pihak terkait seharusnya mulai memancangkan niat dan tekad kuat untuk mencari alternative yang lebih baik untuk kemaslahatan luas dan halal. Dalam hal ini pemerintah dan semua pihak terkait melalui berbagai media dan sarana harus berusaha keras memerangi penyakit ini dan kampanye anti rokok di samping menciptakan alternatif lapangan kerja dan usaha lainnya yang lebih baik, meskipun untuk ini harus mengeluarkan biaya yang sangat banyak dan melumpuhkan industri rokok dan biaya sosial yang sangat tinggi, sebab dampak negatif yang ditimbulkannya bagi kesehatan keluarga dan bangsa jauh lebih mahal dan berharga dari pada nilai devisa ataupun nilai material apapun. Wallahu A’lam Wa Billahit Taufiq wal Hidayah. []
Tak Semua Perbedaan Merugikan
Perbedaan kadang tak ubahnya seperti aneka pepohonan di sebuah taman. Ada tanaman yang berwarna kuning, merah, hijau, dan putih. Keanekaragaman itu menjadikan taman begitu indah. Sayangnya, hal seperti itu tidak sama dengan dunia nyata manusia.
Ada hal menarik pernah terjadi di masa Nabi Daud dan Sulaiman. Hubungan senior dan junior ini sesaat terlihat seperti renggang. Pasalnya, keduanya berselisih pendapat soal solusi sebuah kasus yang terjadi di lingkungannya.
Kasus itu memang tampak sederhana. Seorang pemilik ladang mengeluh tentang kerusakan ladangnya yang disebabkan sekawanan kambing milik orang lain. Sang pemilik ladang menuntut ganti rugi. Setelah dihitung-hitung, ternyata nilai kerusakan sama dengan harga kambing itu.
Nabi Daud berpendapat bahwa kambing-kambing itu diberikan ke pemilik ladang sebagai ganti rugi. Tapi, Nabi Sulaiman berpendapat lain: pemilik kambing harus menanam kembali dan merawat ladang yang rusak itu menjadi seperti sediakala. Dan selama perbaikan itu, kambing-kambing dipinjamkan ke pemilik ladang untuk dimanfaatkan: susu, bulu, dan lain-lainnya. Jika ladang sudah pulih seperti sediakala, kambing pun dikembalikan ke pemiliknya.
Ternyata, Allah swt. menyetujui pendapat Nabi Sulaiman. Firman Allah dalam surah Al-Anbiya ayat 78 hingga 79, “Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman di waktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat); dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu….”
Tanpa sedikit pun merasa rendah, sang senior seperti Nabi Daud a.s. menerima pendapat juniornya, Nabi Sulaiman a.s., dengan lapang dada. Karena memang pendapat Nabi Sulaimanlah yang lebih bijak.
Pelajaran mengelola perbedaan itu punya makna tersendiri. Perbedaan merupakan keniscayaan. Siapa pun kita, tak akan mampu memaksa lahirnya keseragaman. Karena secara sunnatullah, Allah swt. menciptakan alam dan isinya termasuk manusia dengan penuh keragaman. “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. 49: 13)
Masalahnya, bagaimana menyikapi perbedaan. Apakah perbedaan ditangkap dari sudut pandang positif. Atau malah negatif.
Dua sudut pandang ini punya timbangan sendiri-sendiri. Perbedaan jadi positif manakala terjadi pada tingkat teknis atau cara. Dalam Islam, itu biasa disebut khilafiyah. Atau perbedaan dalam soal fikih.
Imam Malik rahimahullah pernah menolak tawaran Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur untuk menyeragamkan perbedaan seputar cara ibadah. Al-Mansur menawarkan agar semua orang berkiblat pada kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik. Beliau mengatakan, “Jangan kamu lakukan wahai khalifah. Karena sesungguhnya umat telah banyak memperoleh fatwa, mendengar hadits, meriwayatkan hadits. Dan mereka telah menjadikannya sebagai panduan amal. Mengubah mareka dari kebiasaan itu sungguh sesuatu yang sulit. Maka, biarkanlah umat mengerjakan apa yang mereka pahami.”
Salafus-shalih menempatkan perbedaan pendapat ini sebagai salah satu bentuk rahmat Allah. Umar bin Abdul Azis mengatakan, ” Saya tidak suka jika para sahabat tidak berbeda pendapat. Sebab jika mereka berada dalam satu kata saja tentu akan menyulitkan umat Islam. Merekalah para pemimpin yang menjadi teladan. Siapapun yang mengambil salah satu pendapat mereka tentulah sesuai dengan Sunnah.”
Rasulullah saw. pernah mengatakan, “Jika seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya benar maka memperoleh dua pahala, dan jika ijtihadnya salah ia memperoleh satu pahala.”
Perbedaan menjadi negatif ketika wilayahnya menyentuh hal yang prinsipil, keyakinan. Buat yang satu ini, perbedaan tidak boleh terjadi. Karena dasar hukumnya sudah sangat jelas.
Nilai negatif dalam perbedaan juga muncul ketika yang jadi masalah bukan objek masalahnya. Tapi ketidaksiapan orang-orang yang berbeda. Di antara ketidaksiapan itu ada pada soal pemahaman. Tidak sedikit orang yang menganggap diri berbeda dan bangga dengan perbedaan hanya karena ketidaktahuan. Imam Syafi’i cuma mau mengukur perbedaan jika yang berbeda itu orang yang punya pemahaman. Beliau mengatakan, “Saya tidak pernah berdiskusi dengan siapapun, kecuali saya berharap agar kebenaran akan keluar darinya.”
Ketidaksiapan kedua adala masalah ego. Biasanya penyakit ini hinggap pada sosok senior atau orang yang berkuasa. Ia cuma mengakui kebenaran itu hanya bersumber dari dirinya. Dan yang lainnya berarti salah.
Betapa anggunnya akhlak seorang Khalifah Umar bin Khaththab ketika di sebuah kesempatan seorang muslimah mengajukan protes. Sesaat setelah orang nomor satu di Madinah itu mengeluarkan kebijakan soal mahar, seorang muslimah mengatakan, betapa beraninya engkau ya Umar mengalahkan firman Allah dalam ayat ini dan itu.
Saat itu juga, tanpa sedikit pun memperlihatkan kekecewaan, Umar meralat kebijakannya. Ia mengatakan, “Wanita itu betul. Dan Umar salah!”
Jadi, perbedaan sangat bergantung pada bagaimana penyikapan diberikan. Perlu ketelitian dan kedewasaan diri agar perbedaan bisa benar-benar positif. Tak ubahnya seperti indahnya keanekaragaman bunga-bunga di sebuah taman. ( Ketika telah jelas derajat suatu dalil itu shahih maka ikutilah dalil sahih itu tinggalkanlah pendapat-pendapat.*Op)
Berhati-hati Dengan Waktu Luang
“Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka, sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling.” (Al-Hajj: 1)Maha Kuasa Allah yang menciptakan arena bumi sebagai sarana ujian. Kekayaan alam yang begitu melimpah. Sungai-sungai jernih yang melahirkan kehidupan. Hujan yang membangkitkan harapan. Dari situlah, hamba-hamba Allah membuktikan diri: apakah ia sebagai hamba yang konsisten atau dusta.
Ada baiknya berhati-hati dengan yang boleh. Tak ada yang tanpa batas di dunia ini. Karena sunnatullah dalam alam, semua tercipta dalam takaran tertentu. Dari takaran itulah, keseimbangan bisa langgeng. Termasuk keseimbangan dalam diri manusia.
Kalau keseimbangan goyah, yang muncul adalah kerusakan. Dalam diri manusia, ada tiga keseimbangan yang mesti terjaga: keseimbangan akal, rohani, dan fisik. Satu keseimbangan terganggu, seluruh fisik mengalami kerusakan.
Ketidakseimbangan bukan cuma dari sudut kekurangan. Berlebih-lebihan pun bisa memunculkan ketidakseimbangan. Termasuk dalam pemenuhan kebutuhan fisik dan psikis. Di antara urusan fisik adalah makan dan minum.
Allah swt. berfirman, “….makan dan minumlah dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (Al-A’raf: 31)
Berlebih-lebihan dalam makan dan minum, walaupun halal, bisa memunculkan penyakit. Lebih dari lima puluh persen sumber penyakit berasal dari lambung. Karena itulah, Rasulullah saw. meminta kaum muslimin untuk mengerem makan. Dan cara yang paling bagus adalah dengan puasa. Beliau saw. mengatakan, “Berpuasalah, niscaya kamu akan sehat.” (Al-hadits)
Masih banyak hal boleh lain yang mesti pas dengan takaran. Di antaranya, hubungan seksual suami istri, tidur, dan juga bersantai.
Sayangnya, ada kecenderungan manusia senang bersantai. Sudah menjadi sifat dasar manusia memilih jalan yang gampang daripada yang sukar. Lebih memilih santai ketimbang banyak kerja. “Maka tidakkah sebaiknya ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar.” (Al-Balad: 11)
Santai pada timbangan yang proporsional memang bagus. Karena itu bermakna istirahat. Dari istirahatlah keseimbangan baru bisa lahir. Dengan istirahat, lelah bisa tergantikan dengan kesegaran baru.
Tapi, ketika santai tidak lagi proporsional, yang muncul hura-hura dan kemalasan. Orang menjadi begitu hedonis. Orientasi bergeser dari keimanan kepada serba kesenangan. Saat itu, santai tidak cuma menggusur jenuh, tapi juga kewajiban-kewajiban. Bisa kewajiban sebagai suami, anak, dan juga sebagai hamba Allah swt.
Di antara ciri orang beriman adalah berhati-hati dengan perbuatan yang sia-sia. Allah swt. berfirman, “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam shalatnya, dan yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna.” (Al-Mu’minun: 1-3)
Rasulullah saw. mewanti-wanti para sahabat agar berhati-hati dengan waktu senggang. Beliau saw. bersabda, “Ada dua kenikmatan yang membuat banyak orang terpedaya yakni nikmat sehat dan waktu senggang.” (HR. Bukhari)
Ada banyak cara menggusur letih dan jenuh. Letih dan jenuh kadang tidak cuma bisa disegarkan dengan santai. Ada banyak cara agar penyegaran bisa lebih bermakna dan sekaligus terjaga dari lalai.
Para sahabat Rasul biasa mengisi waktu kosong dengan tilawah, zikir, dan shalat sunnah. Itulah yang biasa mereka lakukan ketika suntuk saat jaga malam. Bergantian, mereka menunaikan shalat malam.
Bentuk lainnya adalah bermain dengan istri dan anak-anak. Rasulullah saw. pernah lomba lari dengan Aisyah r.a. Kerap juga bermain ‘kuda-kudaan’ bersama dua cucu beliau, Hasan dan Husein. Dari sini, santai bukan sekadar menghilangkan jenuh. Tapi juga membangun keharmonisan keluarga.
Rasulullah saw. mengatakan, “Orang yang cerdik ialah yang dapat menaklukkan nafsunya dan beramal untuk bekal sesudah wafat. Orang yang lemah ialah yang mengikuti hawa nafsunya dan berangan-angan muluk terhadap Allah.” (HR. Abu Daud)
Dan harus kita sadari betul, ada pihak lain yang mengintai kelengahan kita. Pertarungan antara hak dan batil tidak kenal istilah damai. Tetap dan terus berlangsung hingga hari kiamat. Dari situlah, saling mengintai dan saling mengalahkan menjadi hal lumrah. Dan kewaspadaan menjadi hal yang tidak boleh dianggap ringan.
Pihak yang jelas-jelas melakukan pengintaian adalah musuh abadi manusia. Dialah iblis dan para sekutunya. Allah swt. membocorkan itu dalam firman-Nya. “Iblis mengatakan, ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat).” (Al-A’raf: 16-17)
Pihak lain adalah kelompok manusia yang tidak suka dengan perkembangan Islam. Mereka selalu mengintai kelemahan umat Islam, mengisi rumah-rumah umat Islam dengan hiburan yang melalaikan. Bahkan, mengkufurkan. Masih banyak upaya lain orang kafir untuk menghancurkan Islam.
Karena itu, berhati-hatilah dengan waktu luang. Kalau tidak bisa diisi dengan yang produktif, setidaknya, isilah dengan yang tidak melalaikan.Tiga Ciri Orang Ikhlas
dakwatuna.com – Jika ada kader dakwah merasakan kekeringan ruhiyah, kegersangan ukhuwah, kekerasan hati, hasad, perselisihan, friksi, dan perbedaan pendapat yang mengarah ke permusuhan, berarti ada masalah besar dalam tubuh mereka. Dan itu tidak boleh dibiarkan. Butuh solusi tepat dan segera.
Jika merujuk kepada Al-Qur’an dan Sunnah, kita akan menemukan pangkal masalahnya, yaitu hati yang rusak karena kecenderungan pada syahwat. “Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta ialah hati yang di dalam dada.” (Al-Hajj: 46). Rasulullah saw. bersabda, “Ingatlah bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika baik maka seluruh tubuhnya baik; dan jika buruk maka seluruhnya buruk. Ingatlah bahwa segumpul daging itu adalah hati.” (Muttafaqun ‘alaihi). Imam Al-Ghazali pernah ditanya, “Apa mungkin para ulama (para dai) saling berselisih?” Ia menjawab,” Mereka akan berselisih jika masuk pada kepentingan dunia.”
Karena itu, pengobatan hati harus lebih diprioritaskan dari pengobatan fisik. Hati adalah pangkal segala kebaikan dan keburukan. Dan obat hati yang paling mujarab hanya ada dalam satu kata ini: ikhlas.
Kedudukan Ikhlas
Ikhlas adalah buah dan intisari dari iman. Seorang tidak dianggap beragama dengan benar jika tidak ikhlas. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (Al-An’am: 162). Surat Al-Bayyinah ayat 5 menyatakan, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus.” Rasulullah saw. bersabda, “Ikhlaslah dalam beragama; cukup bagimu amal yang sedikit.”
Tatkala Jibril bertanya tentang ihsan, Rasul saw. berkata, “Engkau beribadah kepada Allah seolah engkau melihat-Nya. Jika engkau tidak melihat-Nya, maka sesungguhnya Allah melihatmu.” Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menerima amal kecuali dilakukan dengan ikhlas dan mengharap ridha-Nya.”
Fudhail bin Iyadh memahami kata ihsan dalam firman Allah surat Al-Mulk ayat 2 yang berbunyi, “Liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya” dengan makna akhlasahu (yang paling ikhlas) dan ashwabahu (yang paling benar). Katanya, “Sesungguhnya jika amal dilakukan dengan ikhlas tetapi tidak benar, maka tidak diterima. Dan jika amal itu benar tetapi tidak ikhlas, juga tidak diterima. Sehingga, amal itu harus ikhlas dan benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah Azza wa Jalla dan benar jika dilakukan sesuai sunnah.” Pendapat Fudhail ini disandarkan pada firman Allah swt. di surat Al-Kahfi ayat 110.
Imam Syafi’i pernah memberi nasihat kepada seorang temannya, “Wahai Abu Musa, jika engkau berijtihad dengan sebenar-benar kesungguhan untuk membuat seluruh manusia ridha (suka), maka itu tidak akan terjadi. Jika demikian, maka ikhlaskan amalmu dan niatmu karena Allah Azza wa Jalla.”
Karena itu tak heran jika Ibnul Qoyyim memberi perumpamaan seperti ini, “Amal tanpa keikhlasan seperti musafir yang mengisi kantong dengan kerikil pasir. Memberatkannya tapi tidak bermanfaat.” Dalam kesempatan lain beliau berkata, “Jika ilmu bermanfaat tanpa amal, maka tidak mungkin Allah mencela para pendeta ahli Kitab. Jika ilmu bermanfaat tanpa keikhlasan, maka tidak mungkin Allah mencela orang-orang munafik.”
Makna Ikhlas
Secara bahasa, ikhlas bermakna bersih dari kotoran dan menjadikan sesuatu bersih tidak kotor. Maka orang yang ikhlas adalah orang yang menjadikan agamanya murni hanya untuk Allah saja dengan menyembah-Nya dan tidak menyekutukan dengan yang lain dan tidak riya dalam beramal.
Sedangkan secara istilah, ikhlas berarti niat mengharap ridha Allah saja dalam beramal tanpa menyekutukan-Nya dengan yang lain. Memurnikan niatnya dari kotoran yang merusak.
Seseorang yang ikhlas ibarat orang yang sedang membersihkan beras (nampi beras) dari kerikil-kerikil dan batu-batu kecil di sekitar beras. Maka, beras yang dimasak menjadi nikmat dimakan. Tetapi jika beras itu masih kotor, ketika nasi dikunyah akan tergigit kerikil dan batu kecil. Demikianlah keikhlasan, menyebabkan beramal menjadi nikmat, tidak membuat lelah, dan segala pengorbanan tidak terasa berat. Sebaliknya, amal yang dilakukan dengan riya akan menyebabkan amal tidak nikmat. Pelakunya akan mudah menyerah dan selalu kecewa.
Karena itu, bagi seorang dai makna ikhlas adalah ketika ia mengarahkan seluruh perkataan, perbuatan, dan jihadnya hanya untuk Allah, mengharap ridha-Nya, dan kebaikan pahala-Nya tanpa melihat pada kekayaan dunia, tampilan, kedudukan, sebutan, kemajuan atau kemunduran. Dengan demikian si dai menjadi tentara fikrah dan akidah, bukan tentara dunia dan kepentingan. Katakanlah: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku.” Dai yang berkarakter seperti itulah yang punya semboyan ‘Allahu Ghayaatunaa‘, Allah tujuan kami, dalam segala aktivitas mengisi hidupnya.
Buruknya Riya
Makna riya adalah seorang muslim memperlihatkan amalnya pada manusia dengan harapan mendapat posisi, kedudukan, pujian, dan segala bentuk keduniaan lainnya. Riya merupakan sifat atau ciri khas orang-orang munafik. Disebutkan dalam surat An-Nisaa ayat 142, “Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat itu) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali.”
Riya juga merupakan salah satu cabang dari kemusyrikan. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya yang paling aku takuti pada kalian adalah syirik kecil.” Sahabat bertanya, “Apa itu syirik kecil, wahai Rasulullah?” Rasulullah saw. menjawab, “Riya. Allah berkata di hari kiamat ketika membalas amal-amal hamba-Nya, ‘Pergilah pada yang kamu berbuat riya di dunia dan perhatikanlah, apakah kamu mendapatkan balasannya?’” (HR Ahmad).
Dan orang yang berbuat riya pasti mendapat hukuman dari Allah swt. Orang-orang yang telah melakukan amal-amal terbaik, apakah itu mujahid, ustadz, dan orang yang senantiasa berinfak, semuanya diseret ke neraka karena amal mereka tidak ikhlas kepada Allah. Kata Rasulullah saw., “Siapa yang menuntut ilmu, dan tidak menuntutnya kecuali untuk mendapatkan perhiasan dunia, maka ia tidak akan mendapatkan wangi-wangi surga di hari akhir.” (HR Abu Dawud)
Ciri Orang Yang Ikhlas
Orang-orang yang ikhlas memiliki ciri yang bisa dilihat, diantaranya:
1. Senantiasa beramal dan bersungguh-sungguh dalam beramal, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang banyak, baik ada pujian ataupun celaan. Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, “Orang yang riya memiliki beberapa ciri; malas jika sendirian dan rajin jika di hadapan banyak orang. Semakin bergairah dalam beramal jika dipuji dan semakin berkurang jika dicela.”
Perjalanan waktulah yang akan menentukan seorang itu ikhlas atau tidak dalam beramal. Dengan melalui berbagai macam ujian dan cobaan, baik yang suka maupun duka, seorang akan terlihat kualitas keikhlasannya dalam beribadah, berdakwah, dan berjihad.
Al-Qur’an telah menjelaskan sifat orang-orang beriman yang ikhlas dan sifat orang-orang munafik, membuka kedok dan kebusukan orang-orang munafik dengan berbagai macam cirinya. Di antaranya disebutkan dalam surat At-Taubah ayat 44-45, “Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, tidak akan meminta izin kepadamu untuk (tidak ikut) berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang bertakwa. Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan hari akhir, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam keragu-raguannya.”
2. Terjaga dari segala yang diharamkan Allah, baik dalam keadaan bersama manusia atau jauh dari mereka. Disebutkan dalam hadits, “Aku beritahukan bahwa ada suatu kaum dari umatku datang di hari kiamat dengan kebaikan seperti Gunung Tihamah yang putih, tetapi Allah menjadikannya seperti debu-debu yang beterbangan. Mereka adalah saudara-saudara kamu, dan kulitnya sama dengan kamu, melakukan ibadah malam seperti kamu. Tetapi mereka adalah kaum yang jika sendiri melanggar yang diharamkan Allah.” (HR Ibnu Majah)
Tujuan yang hendak dicapai orang yang ikhlas adalah ridha Allah, bukan ridha manusia. Sehingga, mereka senantiasa memperbaiki diri dan terus beramal, baik dalam kondisi sendiri atau ramai, dilihat orang atau tidak, mendapat pujian atau celaan. Karena mereka yakin Allah Maha melihat setiap amal baik dan buruk sekecil apapun.
3. Dalam dakwah, akan terlihat bahwa seorang dai yang ikhlas akan merasa senang jika kebaikan terealisasi di tangan saudaranya sesama dai, sebagaimana dia juga merasa senang jika terlaksana oleh tangannya.
Para dai yang ikhlas akan menyadari kelemahan dan kekurangannya. Oleh karena itu mereka senantiasa membangun amal jama’i dalam dakwahnya. Senantiasa menghidupkan syuro dan mengokohkan perangkat dan sistem dakwah. Berdakwah untuk kemuliaan Islam dan umat Islam, bukan untuk meraih popularitas dan membesarkan diri atau lembaganya semata.
Agar Kita Tidak Merugi: Tadabbur Surat Al-’Ashr
dakwatuna.com - “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (Al-Ashr: 1-3)
Surah ini termasuk golongan Makkiyah yang diturunkan sesudah surah Asy-Syarh dan terdiri dari tiga ayat. Sayyid Quthb memahami aspek i’jazul Qur’an yang ketara pada surah pendek ini yang memang merupakan keistimewaan Al-Qur’an. Sebagai contoh misalnya, irama surah ini menunjukkan satu keserasian dimana pada akhir setiap ayatnya ditutup dengan huruf “ra”. Susunan redaksinya juga indah; berawal dari yang terpendek hingga yang terpanjang. Hanya dalam tiga ayat, tergambar dengan gamblang manhaj dan rambu-rambu kehidupan manusia yang dikehendaki oleh Islam yang berlaku sepanjang zaman dan pada setiap generasi. Memang hanya ada satu manhaj dan jalan keselamatan dari kerugian seperti yang dirumuskan dalam surah ini, yaitu iman, amal shalih, saling menasehati dalam mentaati kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.
Surah ini diawali dengan sumpah. Sumpah Allah dengan salah satu makhluknya yang terpenting yang menentukan kehidupan manusia, yaitu waktu, baik seluruhnya maupun sebagiannya. Dalam satu “masa” terdapat beberapa keadaan; sakit dan sehat, suka dan duka, demikian seterusnya saling berpasangan. Bahkan dalam sebuah ‘waktu’ tersimpan segala jenis peristiwa dan kejadian. Karena keagungan waktu inilah maka Allah bersumpah dengannya. Dan memang Allah berhak bersumpah dengan apapun yang dikehendakinya dari seluruh makhlukNya, sedangkan manusia hanya boleh bersumpah dengan Allah dan nama-nama atau sifatNya yang mulia.
Terdapat banyak pemahaman para ulama tentang maksud ‘Al-Ashr’ yang menjadi sumpah Allah dalam surah ini. Hasan Al-Bashri berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘Al-Ashr’ adalah waktu petang, karena pada waktu inilah berakhirnya segala aktifitas manusia, sehingga tinggal menghitung untung dan rugi dari apa yang telah dilakukannya semenjak pagi hingga waktu petang. Dalam konteks waktu, sebagian ulama menyimpulkan bahwa biasanya Allah bersumpah dengan waktu dhuha dalam konteks keberuntungan dan dengan waktu petang dalam konteks kerugian.
Makna lain dari kata ‘Al-Ashr’ yang masyhur adalah sholat Ashar. Shalat Ashar merupakan sholat yang utama dan diperintahkan khusus oleh Allah untuk dipelihara dan dijaga melalui firmanNya: “peliharalah oleh kalian shalat-shalat kalian dan shalat wushtho, yaitu sholat Ashar”. (2: 238). Bahkan Rasulullah bersabda mengagungkan shalat yang satu ini dalam salah satu haditsnya: “Barangsiapa yang tertinggal shalat Ashar, maka ia seolah-olah kehilangan keluarga dan hartanya”. Dalam riwayat lain dinyatakan: “maka sia-sialah semua amalnya”. (Diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Daud dan Imam Ahmad). Disini Al-Biqa’i menemukan korelasi yang indah antara lafadz ‘insan’ yang merupakan sebaik-baik jenis makhluk Allah yang diciptakan dalam sebaik-baik kejadian (bentuk) dengan lafadz “Ashr” yang merupakan waktu pilihan, ibarat minuman jus yang dipilah dan diperas dari buah yang segar yang diistilahkan dalam bahasa Arab ‘Ashir.
Secara redaksional, bentuk nakirah (indifinitive) pada lafaz “khusr” menunjukkan besarnya kerugian yang akan diderita oleh setiap manusia dan juga untuk menghinakan manusia yang menderita kerugian tesebut, karena kerugian itu meliputi kebinasaan diri dan usianya. Atau bentuk nakirah juga menunjukkan umumnya kerugian tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Al-Alusi bahwa kerugian yang disebut oleh ayat bersifat umum mencakup segala jenis kerugian; duniawi maupun ukhrawi. Seperti kerugian dalam perniagaan, kerja-kerja manusia maupun pemanfaatan usia yang akan dimintai pertanggung jawaban oleh Allah swt. Apalagi bahwa pernyataan Allah tentang kerugian setiap manusia dalam ayat ini diperkuat dengan dua huruf ta’kid (penegasan), yaitu Inna yg berarti sesungguhnya dan La yg berarti benar-benar.
Keumuman ayat kedua dapat difahami dari lafadz ‘insan’ yang didampingi oleh alif dan lam yang menunjukkan makna yang umum. Meskipun ada yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘manusia’ pada ayat ini adalah segolongan orang kafir seperti Al-‘Ash bin Wa’il, Al-Walid bin Al-Mughirah dan Al-Aswad bin Abdul Muthalib bin Al-Asad, namun tetap umumnya lafadz lebih kuat daripada khususnya ayat yang terbatas pada mereka yang telah menerima kerugian. Sehingga siapapun tanpa terkecuali tidak akan bisa terlepas dari kerugian melainkan jika ia berpegang teguh dengan ajaran yang terkandung pada ayat terakhir surah ini, yaitu iman, amal shalih dan saling menasehati untuk menepati kebenaran serta saling menasehati dalam kesabaran.
Iman dan amal shalih yang menjadi syarat pertama keluar dari kerugian merupakan dua hal yang saling terkait, ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Artinya tidak berguna dan akan mati iman seseorang tanpa amal shalih, begitu sebaliknya sia-sialah amal shalih yang tidak berlandaskan iman. Dari iman berasal setiap cabang kebaikan dan dengannya terkait setiap buah kebaikan. Oleh karena itu, Al-Qur’an dengan tegas menghancurkan nilai seluruh amal perbuatan, selagi amal perbuatan itu tidak didasarkan pada iman yang menjadi pendorong dan penghubung dengan Sang Maha Wujud. “Dan orang-orang yg kafir, amal perbuatan mereka adalah laksana fatamorgana di tanah yg datar, yg disangka air oleh orang yg dahaga, tetapi bila didatanginya air itu, dia tdk mendapatinya suatu apapun”.(AN-Nur: 39). Secara impelementatif, Iman adalah gerak dan amal, pembangunan dan pemakmuran menuju Allah. Ia bukan sesuatu yang pasif, layu dan bersembunyi di hati nurani. Juga bukan sekedar kumpulan niat yang baik yang tidak tercermin dalam bentuk perbuatan & gerak.
Ayat yang terakhir dan terpanjang dalam surah ini merupakan gambaran kepedulian seorang mukmin dengan saudaranya tentang kebaikan. Saling berpesan dalam kebenaran tentu sangat diperlukan, karena melaksanakan kebenaran itu butuh bantuan orang lain. Saling berpesan berarti mengingatkan, memberi dukungan, memotivasi dan menyadarkan. Dan seseorang tidak akan mungkin mampu melaksanakan kebenaran dan kebaikan yang sempurna secara personal, tanpa keterlibatan orang lain. Demikian juga saling berpesan dengan kesabaran sangat diperlukan karena akan bisa meningkatkan kemampuan, semangat dan perasaan kebersamaan. Apalagi dalam meyakini, menjalankan dan menyeru kebenaran tadi bisa jadi akan menghadapi hambatan, rintangan dan tantangan dalam beragam bentuknya. Dalam riwayat Al-Hakim disebutkan, “Kesabaran adalah setengah dari (realisasi) iman seseorang”. Disinilah urgensi kepedulian seorang mukmin dengan suadaranya dalam dua hal yang saling berkaitan; kebenaran dan kesabaran.
Yang menarik untuk dicermati mengenai tafsir surah ini adalah pendapat Al-Wahidi dalam kitab tafsirnya Al-Wajiz fi Tafsir Al-Kitab Al-Aziz. Beliau mengemukakan secara spesifik contoh mereka yang telah mendapat kerugian dan keberuntungan berdasarkan urutan dalam mushaf. Abu jahal merupakan representasi dari orang yang merugi. Abu Bakar merupakan sosok yang sesuai dengan implementasi iman. Umar bin Khattab mewakili orang-orang yang beramal shalih. Utsman bin Affan merupakan contoh nyata dari mereka yang saling menasehati dalam kebenaran dan Ali bin Abi Thalib identik dengan golongan yang saling menasehati dalam kesabaran. Lebih lanjut As-Syanqithi dalam tafsir ‘Adhwa’ul Bayan mengemukakan Mafhum mukhalafah dari setiap ajaran dalam surah ini; mafhum mukhalafah dari keberuntungan adalah kerugian, yaitu tdk beriman (kafir), tidak beramal atau beramal buruk, tidak berpesan dengan kebenaran atau berpesan tetapi dengan kebatilan serta tidak berpesan dengan kesabaran atau senantiasa berkeluh kesah.
Sungguh setiap kita mendambakan kesuksesan, keberuntungan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat kelak. Tidak ada jalan dan manhaj lain melainkan mengamalkan kandungan surah ini secara totalitas seperti yang pernah dicontohkan oleh para sahabat Rasulullah saw. Disebutkan bahwa tidaklah dua orang sahabat Rasulullah bertemu, melainkan salah seorang dari keduanya akan membacakan surah ini sebelum berpisah, kemudian saling mengucapkan salam dan saling berjanji serta berkomitmen untuk tetap berpegang teguh dengan iman dan beramal shalih, saling berjanji untuk senantiasa berpesan dengan kebenaran dan dengan kesabaran dalam menjalani kehidupan mereka.
وَعْدَ اللَّهِ لَا يُخْلِفُ اللَّهُ وَعْدَهُ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ (6) يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
dakwatuna.com - ”(Sebagai) janji yang sebenarnya dari Allah. Allah sekali-kali tidak akan menyalahi janjinya, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui. Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai.” (Ar-Rum: 6-7)
Ayat ini menurut Al-Qurthubi berbicara tentang kriteria umum orang-orang kafir atau kaum musyrik Mekkah yang hanya memperhatikan satu kehidupan saja, yaitu kehidupan dunia. Sehingga, siapapun yang bersikap demikian, tidaklah berbeda dengan orang kafir yang jelas mendapat kerugian di akhirat kelak. Mereka mengetahui kehidupan dunia sebatas untuk meraih kesenangan. Pengetahuan mereka tentang urusan duniawi justru disamakan oleh Allah swt. dengan orang-orang yang tidak tahu, karena pengetahuan seseorang yang terbatas hanya tentang dunia adalah sama dengan kebodohan. Bahkan ditegaskan dalam ayat di atas bahwa pengetahuan mereka tentang dunia pun sangat parsial, sebatas memahami sisi lahir dari kehidupan dunia yang luas ini, yaitu tentang kesenangan dan kenikmatannya saja, tidak tentang ujian, tanggung jawab, dan persoalan-persoalan penting dunia lainnya yang menghantarkan pada balasan baik di akhirat kelak.
Pemahaman seperti ini secara bahasa dapat dibenarkan seperti yang diungkapkan oleh Az-Zamakhsyari bahwa kata يَعْلَمُونَ adalah badal dari kata لا يعلمون sehingga keduanya bermakna satu, yaitu kebodohan dan ketidaktahuan. Demikian juga kata zahir dalam ayat ini mengisyaratkan bahwa dunia harus dipahami dengan dua dimensinya secara komprehensif, yaitu dimensi lahir maupun dimensi batin. Dimensi lahir terbatas pada kesenangan dan kenikmatan dunia, sedangkan dimensi batin adalah esensi dunia sebagai tempat beramal menuju kebahagiaan hidup yang sesungguhnya di akhirat kelak. Kata ظَاهِرًا yang disebut dalam bentuk nakirah ‘indifinitive’ menunjukkan bahwa pemahaman mereka terhadap dunia pun masih parsial, tidak menyeluruh, apalagi tentang kehidupan pasca kehidupan dunia.
Kecaman Allah terhadap orang kafir –karena sikap mereka yang melulu hanya mengurusi dunia– tidak berarti bahwa urusan dunia tidak mendapatkan porsi perhatian sewajarnya. Pengetahuan orang kafir tentang dunia yang dikecam oleh Allah adalah karena pengetahuan mereka yang sempit, parsial dan tidak utuh. Sehingga, orang yang beriman harus memperhatikan sisi dunia secara komprehensif sebagai bagian dari mempersiapkan kehidupan akhirat yang lebih baik agar terhindar dari kriteria orang yang lalai yang disebutkan pada petikan terakhir ayat ini وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
Lalai yang dimaksud dalam ayat ini yang dinyatakan dengan kata ‘ghafilun’ menurut Asy-Syaukani adalah dalam arti tidak memberi perhatian dan kepeduliaan tentang urusan akhirat, serta tidak mempersiapkan untuk menghadapi kehidupan tersebut dengan menjalankan ketaatan dan amal shalih sebagai bekal meraih kebahagiaan seperti yang mereka lakukan tentang urusan kehidupan dunia mereka. Dalam sebuah syair Arab disebutkan tentang konsepsi kebodohan dalam terminologi agama:
ومن البليّة أن ترى لك صاحباً … في صورة الرجل السميع المبصر
فطنٍ بكل مصيبة في ماله … وإذا يصاب بدينه لم يشعر
Dan dari kebodohan itu adalah kamu melihat seorang kawan
seakan ia seorang yang mendengar dan melihat
Ia sangat paham tentang musibah yang menimpa hartanya,
namun sangat disayangkan ia sama sekali tidak sadar tentang musibah yang menimpa agamanya
Sikap lalai terhadap urusan akhirat menurut Sayyid Quthb merupakan musibah bagi manusia yang beriman. Karena keimanan seseorang seharusnya akan membimbing dan senantiasa mengarahkan untuk juga memperhatikan dan mempersiapkan kehidupan akhirat. Karena, kelengahan terhadap akhirat akan menjadikan barometer sesuatu menjadi rancu. Segalanya diukur dengan ukuran material. Itulah bukti pemahaman yang sempit tentang kehidupan. Seorang yang memahami kehidupan akhirat akan mengubah pandangannya tentang dunia tidak melulu untuk memuaskan nafsu dan kesenangan materi semata. Tetapi, ia akan bersungguh-sungguh bekerja dan beramal untuk menyelamatkan diri di akhirat kelak. Inilah pertimbangan dan parameter yang benar tentang kehidupan yang sesungguhnya. Dan jika seseorang telah lalai akan akhirat, pasti ia akan lebih melupakan Allah swt. Padahal Allah telah menegaskan, “Dan janganlah kalian seperti orang yang melupakan Allah, maka mereka berarti telah melupakan diri sendiri. Dan itulah orang-orang yang fasik.” (Al-Hasyr: 19). Oleh karenanya, Allah swt. menegaskan di ayat berikutnya tentang dua kelompok manusia, yaitu penghuni surga dan dan penghuni neraka sebagai perumpamaan bagi mereka yang hanya memperhatikan kehidupan dunia dengan mereka yang memiliki orientasi akhirat yang benar, dan itulah hakikat pemahaman yang komprehensif tentang kehidupan ini.
Sikap melalaikan urusan akhirat karena didominasi oleh perhatian yang besar tentang kesenangan dunia merupakan di antara ciri orang-orang kafir yang dikecam oleh Allah swt. Tentu penyebutan sifat mereka di dalam Al-Qur’an merupakan bahan pelajaran yang berharga bagi orang yang beriman agar tidak memiliki sikap seperti mereka. Karena jika tidak, tidaklah dikatakan orang yang beriman apabila hanya mementingkan urusan dunia dengan tidak memiliki kepedulian akan persiapan yang matang untuk kehidupan akhirat yang lebih kekal. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Tirmidzi, Rasulullah saw. menyebutkan ciri orang yang cerdas, ternyata terkait dengan perhatian akan kehidupan akhirat. Rasulullah saw. bersabda:
الْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ
“Orang yang cerdas adalah orang yang mampu mengendalikan nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang memperturutkan nafsunya dan hanya berangan-angan terhadap Allah (tidak beramal).”
Demikian pelajaran yang berharga tentang gambaran orang-orang kafir yang harus menjadi pembeda dengan orang yang beriman. Kehidupan dunia ini harus mendapat perhatian sewajarnya sesuai dengan tuntunan Allah swt., karena kehidupan dunia dapat menjadi potret akan keadaan kehidupan seseorang di akhirat kelak. Jika akhir kehidupan dunianya baik, maka begitulah kehidupan yang akan dijalaninya di akhirat kelak. Namun jika penuh dengan dosa dan kemaksiatan, maka tentu hukuman siksa dan azab menjadi makanan yang tidak akan berhenti selama-lamanya di akhirat kelak. Begitu juga, kehidupan dunia harus dipahami secara utuh, terutama berhubungan dengan tugas dan tanggung jawab kemanusiaan, karena Allah menciptakan manusia tidak sia-sia. Maka, hidup di dunia ini tidak boleh disia-siakan dengan melulu mengurusi kesenangan dan kenikmatannya!
Fiqih Canda dan Humor
dakwatuna.com – Hidup terasa hambar dan datar tanpa humor dan canda bagaikan masakan tanpa garam. Namun hanya dalam kadar kuantitas, kualitas dan penyajian tertentu akan menjadi penyedap kehidupan. Suatu kali Imam Al Ghazali melontarkan 6 pertanyaan kepada murid-muridnya yang hadir dalam majelis ta’limnya. Salah satunya adalah: Benda apa yang paling tajam di dunia ini?. Beragam jawaban muncul dari murid-murid beliau. Pisau, silet, sampai pedang. Imam Al Ghazali menanggapi jawaban murid-muridnya tersebut. “Betul, semua benda yang kalian sebutkan itu tajam. Tapi ada yang lebih tajam dari itu semua. Yaitu LIDAH”.
Meskipun lidah tidak bertulang, namun memang lidah bisa lebih tajam dari apapun, karena dia bisa ‘merobek’ hati. Bahkan kadang lidah bisa membuat lubang menganga di hati lawan bicara yang mungkin perlu waktu lama untuk mengembalikannya ke kondisi semula.
Dalam keseharian, kewajiban menjaga lidah ini tidak saja harus kita laksanakan baik di kala sedang bicara serius ataupun di kala bercanda. Point terakhir ini seringkali membuat kita tidak sadar telah melukai hati teman kita. Kata-kata yang kita maksudkan sebagai candaan, seringkali menusuk hati teman kita, bisa karena bercanda yang keterlaluan, bercanda di saat yang tidak tepat, dan sebagainya. Karena di saat bercanda, seringkali kita tidak memperhatikan bagaimana mood teman kita itu yang sebenarnya.
Memang bercanda kadang diperlukan untuk memecahkan kebekuan suasana sebagaimana yang dikatakan Said bin Al-’Ash kepada anaknya. “Kurang bercanda dapat membuat orang yang ramah berpaling darimu. Sahabat-sahabat pun akan menjauhimu.” Namun canda juga bisa berdampak negatif, yaitu apabila canda dilakukan melampaui batas dan keluar dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya. Canda yang berlebihan juga dapat mematikan hati, mengurangi wibawa, dan dapat menimbulkan rasa dengki.
Allah Swt. berfirman, Artinya: “Dan sesungguhnya Dia-lah yang membuat orang tertawa dan menangis” (QS An-Najm: 43).
Menurut Ibnu ‘Abbas, berdasarkan ayat ini, canda dengan sesuatu yang baik adalah mubah (boleh). Rasulullah Saw. pun sesekali juga bercanda, tetapi Rasulullah Saw. tidak pernah berkata kecuali yang benar. Imam Ibnu Hajar al-Asqalany menjelaskan ayat di atas bahwa Allah Swt. telah menciptakan dalam diri manusia tertawa dan menangis. Karena itu silakanlah Anda tertawa dan menangis, namun tawa dan tangis kita harus sesuai dengan aturan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Saw.
Mungkin sebagian orang merasa aneh dengan pernyataan tersebut dan mencoba mengingkarinya, seperti yang pernah terjadi pada seseorang yang mendatangi Sufyan bin ‘Uyainah Rahimahullah. Orang itu berkata kepada Sufyan, “Canda adalah suatu keaiban (sesuatu yang harus diingkari).” Mendengar pernyataan itu Sufyan berkata, “Tidak demikian, justru canda sunnah hukumnya bagi orang yang membaguskan candanya dan menempatkan canda sesuai dengan situasi dan kondisi.”
Berikut ini adalah kaidah fiqih terkait canda dan humor sebagai panduan agar canda dan humor bernilai dan berdampak positif dan tidak justru berdampak dan bernilai negatif seperti menimbulkan luka hati atau ketersinggungan orang lain.
1. Tidak menjadikan simbol-simbol Islam (tauhid, risalah, wahyu dan dien) sebagai bahan gurauan. Firman Allah: “Dan jika kamu tanyakan mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentulah mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” (QS. at-Taubah:65)
2. Jangan menjadikan kebohongan dan mengada-ada sebagai alat untuk menjadikan orang lain tertawa, seperti April Mop di masa sekarang ini. Sabda Rasulullah saw: “Celakalah bagi orang yang berkata dengan berdusta untuk menjadikan orang lain tertawa. Celaka dia, celaka dia.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi dan Hakim)
3. Jangan mengandung penghinaan, meremehkan dan merendahkan orang lain, kecuali yang bersangkutan mengizinkannya. Firman Allah: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan); dan jangan pula wanita mengolok-olokkan wanita-wanita lain., karena boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan); dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan jangan pula kamu panggil-memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk gelar ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman..” (QS. al-Hujurat:11) “Cukuplah keburukan bagi seseorang yang menghina saudaranya sesama muslim.” (HR. Muslim)
4. Tidak boleh menimbulkan kesedihan dan ketakutan terhadap orang muslim. Sabda Nabi saw: “Tidak halal bagi seseorang menakut-nakuti sesama muslim lainnya.” (HR. ath-thabrani) “Janganlah salah seorang di antara kamu mengambil barang saudaranya, baik dengan maksud bermain-main maupun bersungguh-sungguh.” (HR. Tirmidzi)
5. Jangan bergurau untuk urusan yang serius dan jangan tertawa dalam urusan yang seharusnya menangis. Tiap-tiap sesuatu ada tempatnya, tiap-tiap kondisi ada (cara dan macam) perkataannya sendiri. Allah mencela orang-orang musyrik yang tertawa ketika mendengarkan al-Qur’an padahal seharusnya mereka menangis, lalu firman-Nya: “Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu menertawakan dan tidak menangis. Sedang kamu melengahkannya.” (QS. an-Najm:59-61). Hendaklah gurauan itu dalam batas-batas yang diterima akal, sederhana dan seimbang, dapat diterima oleh fitrah yang sehat, diridhai akal yang lurus dan cocok dengan tata kehidupan masyarakat yang positif dan kreatif.
6. Islam tidak menyukai sifat berlebihan dan keterlaluan dalam segala hal, meskipun dalam urusan ibadah sekalipun. Dalam hal hiburan ini Rasulullah memberikan batasan dalam sabdanya; “Janganlah kamu banyak tertawa, karena banyak tertawa itu dapat mematikan hati.” (HR. Tirmidzi). “Berilah humor dalam perkataan dengan ukuran seperti Anda memberi garam dalam makanan.” (Ali ra.). “Sederhanalah engkau dalam bergurau, karena berlebihan dalam bergurau itu dapat menghilangkan harga diri dan menyebabkan orang-orang bodoh berani kepadamu, tetapi meninggalkan bergurau akan menjadikan kakunya persahabatan dan sepinya pergaulan.” (Sa’id bin Ash).
Humor dan Canda Rasulullah SAW
Beberapa riwayat humor dan canda Rasulullah saw. berikut semoga dapat menjadi inspirasi humor yang sehat, cerdas, positif dan menyegarkan.
Seseorang sahabat mendatangi Rasulullah SAw, dan dia meminta agar Rasulullah SAW membantunya mencari unta untuk memindahkan barang-barangnya. Rasulullah berkata: “Kalau begitu kamu pindahkan barang-barangmu itu ke anak unta di seberang sana”. Sahabat bingung bagaimana mungkin seekor anak unta dapat memikul beban yang berat. “Ya Rasulullah, apakah tidak ada unta dewasa yang sekiranya sanggup memikul barang-barang ku ini?” Rasulullah menjawab, “Aku tidak bilang anak unta itu masih kecil, yang jelas dia adalah anak unta. Tidak mungkin seekor anak unta lahir dari ibu selain unta” Sahabat tersenyum dan dia-pun mengerti canda Rasulullah. (Riwayat Imam Ahmad, Abu Dawud dan At Tirmidzi. Sanad sahih)
Seorang perempuan tua bertanya pada Rasulullah: “Ya Utusan Allah, apakah perempuan tua seperti aku layak masuk surga?” Rasulullah menjawab: “Ya Ummi, sesungguhnya di surga tidak ada perempuan tua”. Perempuan itu menangis mengingat nasibnya Kemudian Rasulullah mengutip salah satu firman Allah di surat Al Waaqi’ah ayat 35-37 “Sesungguhnya Kami menciptakan mereka (bidadari-bidadari) dengan langsung, dan Kami jadikan mereka gadis-gadis perawan, penuh cinta lagi sebaya umurnya”. (Riwayat At Tirmidzi, hadits hasan)
Seorang sahabat bernama Zahir, dia agak lemah daya pikirannya. Namun Rasulullah mencintainya, begitu juga Zahir. Zahir ini sering menyendiri menghabiskan hari-harinya di gurun pasir. Sehingga, kata Rasulullah, “Zahir ini adalah lelaki padang pasir, dan kita semua tinggal di kotanya”. Suatu hari ketika Rasulullah sedang ke pasar, dia melihat Zahir sedang berdiri melihat barang-barang dagangan. Tiba-tiba Rasulullah memeluk Zahir dari belakang dengan erat. Zahir: “Heii……siapa ini?? lepaskan aku!!!”, Zahir memberontak dan menoleh ke belakang, ternyata yang memeluknya Rasulullah. Zahir-pun segera menyandarkan tubuhnya dan lebih mengeratkan pelukan Rasulullah. Rasulullah berkata: “Wahai umat manusia, siapa yang mau membeli budak ini??” Zahir: “Ya Rasulullah, aku ini tidak bernilai di pandangan mereka” Rasulullah: “Tapi di pandangan Allah, engkau sungguh bernilai Zahir. Mau dibeli Allah atau dibeli manusia?” Zahir pun makin mengeratkan tubuhnya dan merasa damai di pelukan Rasulullah. (Riwayat Imam Ahmad dari Anas ra)
Suatu ketika, Rasulullah saw dan para sahabat ra sedang ifthor. Hidangan pembuka puasa dengan kurma dan air putih. Dalam suasana hangat itu, Ali bin Abi Tholib ra timbul isengnya. Ali ra mengumpulkan kulit kurma-nya dan diletakkan di tempat kulit kurma Rasulullah saw. Kemudian Ali ra dengan tersipu-sipu mengatakan kalau Rasulullah saw sepertinya sangat lapar dengan adanya kulit kurma yang lebih banyak. Rasulullah saw yang sudah mengetahui keisengan Ali ra segera “membalas” Ali ra dengan mengatakan kalau yang lebih lapar sebenarnya siapa? (antara Rasulullah saw dan Ali ra). Sedangkan tumpukan kurma milik Ali ra sendiri tak bersisa. (HR. Bukhori, dhoif)
Aisyah RA berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah SAW dalam suatu perjalanan, saat itu tubuhku masih ramping. Beliau lalu berkata kepada para sahabat beliau, ”Silakan kalian berjalan duluan!” Para sahabat pun berjalan duluan semua, kemudian beliau berkata kepadaku, “Marilah kita berlomba.” Aku pun menyambut ajakan beliau dan ternyata aku dapat mendahului beliau dalam berlari. Beberapa waktu setelah kejadian itu dalam sebuah riwayat disebutkan:”Beliau lama tidak mengajakku bepergian sampai tubuhku gemuk dan aku lupa akan kejadian itu.”-suatu ketika aku bepergian lagi bersama beliau. Beliau pun berkata kepada para sahabatnya. “Silakan kalian berjalan duluan.” Para sahabat pun kemudian berjalan lebih dulu. kemudian beliau berkata kepadaku, “Marilah kita berlomba.” Saat itu aku sudah lupa terhadap kemenanganku pada waktu yang lalu dan kini badanku sudah gemuk. Aku berkata, “Bagaimana aku dapat mendahului engkau, wahai Rasulullah, sedangkan keadaanku seperti ini?” Beliau berkata, “Marilah kita mulai.” Aku pun melayani ajakan berlomba dan ternyata beliau mendahului aku. Beliau tertawa seraya berkata, ” Ini untuk menebus kekalahanku dalam lomba yang dulu.” (HR Ahmad dan Abi Dawud)
Rasulullah SAW juga pernah bersabda kepada ‘Asiyah, “Aku tahu saat kamu senang kepadaku dan saat kamu marah kepadaku.” Aisyah bertanya, “Dari mana engkau mengetahuinya?” Beliau menjawab, ” Kalau engkau sedang senang kepadaku, engkau akan mengatakan dalam sumpahmu “Tidak demi Tuhan Muhammad” Akan tetapi jika engkau sedang marah, engkau akan bersumpah, “Tidak demi Tuhan Ibrahim!”. Aisyah pun menjawab, “Benar, tapi demi Allah, wahai Rasulullah, aku tidak akan meninggalkan, kecuali namamu saja” (HR Bukhari dan Muslim) Wallahu’alam Bisshawab. Wabillahit Taufiq Wal Hidayah